Vedo Il Mare!
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.000 pulaunya yang membentang di lautan luas. Namun, percayakah Anda jika ada seorang warga negara Indonesia yang belum pernah melihat laut yang jadi bagian terluas negaranya tercinta? Mungkin Anda berpikir, hanya warga negara Laos yang belum pernah melihat garis pantai karena memang negara mereka tidak berbatasan dengan laut mana pun. Jika berpikir begitu; LO SALAH BESAR!
Adalah gue, Michael Ayub Garuntolo, seorang mahasiswa berusia 18 tahun, yang seumur hidupnya hanya berputar-putar di pedalaman daratan tanah Jawa tanpa pernah melihat garis pantainya. Sebuah kenyataan pahit buat gue yang selalu mendapatkan halangan saat mempunyai niat melihat tanah berpasir yang jadi pembatas daratan dengan samudera raya itu.
Suatu hari di tahun 1997, Bokap dan Nyokap mengajak gue berlibur ke Jogja. Bis kami melewati jalur pantai utara Jawa di suatu malam yang gelap gulita. Sekitar pukul 22.00, Bokap ngebangunin gue, dia menunjuk ke jendela, tampak api berkobar-kobar di tengah daerah sekelilingnya yang gelap total, saat itu gue bener-bener ngantuk dan nggak tau dari mana asal kobaran api itu.
"Itu tambang minyak," bisik Bokap. Apa itu tambang minyak? Yang ada di pikiran gue saat itu adalah; tambang minyak adalah tempat para pedagang warung membeli minyak di pabriknya untuk kemudian dijual lagi -_-
Yaa, nggak salah juga sih ya, minyak tanah yang dijual di warung kan juga asalnya dari tambang minyak. :p
Bodohnya gue, belakangan gue baru sadar, saat itu gue sedang melihat laut di kegelapan yang sempurna. Obor itu adalah kobaran api di pertambangan gas lepas pantai. Andai saja saat itu siang hari, itu berarti gue sudah melihat pantai sejak usia empat tahun.. hiks...
Dan pada akhirnya, gue kembali ke Jogja tahun 2000. Saat itu, gue bersama keluarga Ibu gue, kali ini tanpa Bokap, hampir saja mengunjungi Pantai Parangtritis di Jogja. Sial lagi-lagi, tante gue menolak ke Parangtritis mengingat saat itu sepupu gue masih kecil-kecil, dan dipandang berbahaya untuk mengunjungi pantai yang sarat muatan kepercayaan mistis tersebut...
Pada akhirnya, tahun 2008, gue kembali lagi ke Jogja. Kali ini tanpa Bokap atau Nyokap, gue hanya bersama saudara-saudara dari keluarga Ibu gue. Hampir saja kami mengunjungi Pantai Samas di Bantul, dekat rumah Om di Bantul, dan dafuq sekali, saat itu beredar kabar, pantai dipasangi police line karena katanya ada orang habis tenggelam.. Pantai ditutup! :(
Di 2010, saat angkatan di SMA gue mengadakan "studi banding" bohong-bohongan ke Bali, gue nggak jadi ikut karena Nyokap gue baru aja meninggal, dan gue pikir terlalu kurang ajar kalo baru aja ditinggal nyokap gue langsung hura-hura.. batal lagi...
Mimpi gue untuk melihat laut selalu punya halangan. Setiap liburan tiba, seakan-akan semua orang mencegah gue melihat laut. Seakan-akan semesta sepakat untuk tidak memperlihatkan laut kepada gue...
Sampai akhirnya di 2011 muncul beberapa wacana yang mendiskusikan untuk menunjukkan laut kepada gue. Ada beberapa gerombolan mahasiswa yang merencanakan liburan ke pantai. Gue pun mulai gencar menghidupkan lagi wacana yang sempat terbenam oleh kesibukan kuliah ini. Beberapa ketua angkatan di berbagai perkumpulan mulai gue bujuk untuk ngadain acara angkatan ke pantai. Di jurusan gagal, mereka ngadain PKMJ ke Puncak, males ikut, bosen puncak mulu...
Di KMK berhasil, mereka mau ngadain trip ke Jogja lagi, dengan Parangtritis sebagai salah satu destinasinya.
Namun, memang semesta belum mengizinkan; beberapa hari sebelum berangkat, seorang dosen tua bangka mengumumkan sesuatu yang terkutuk: "We'll have another test on Friday, don't forget to attend the class, and make sure you have cancelled your plans for Friday."
Saat mendengar pengumuman itu, rasanya gue pengen mukul tuh dosen. Cuma nggak tega juga, karena jalannya aja udah pake tongkat, umur udah 70-an... :(
Akhirnya, di sebuah hari yang bersejarah, 2 Juli 2012, di saat impian gue hampir gue kubur hidup-hidup, muncullah teman-teman sekelas gue yang membawa segenggam cahaya dari pesisir utara Jawa. Teman-teman sekelas gue... Ya, mereka, orang-orang yang belum genap setahun gue kenal, merencanakan suatu liburan yang tak terlupakan ke Pantai Ancol.
Bukan sebuah pantai yang indah, dan dilukiskan orang sebagai pantai yang jorok dan menjijikan. Tapi gue nggak punya pilihan lain, gue sambut tawaran ini dengan penuh rasa terima kasih.
Kami berkonvoi sekitar jam 11 siang dari kampus UNJ di Rawamangun. Sekitar tengah hari kami sampai di gerbang Ancol. Memasuki Taman Impian jaya Ancol, tercium bau yang asing... Bau pantai! Ya! amis amis gimanaa gitu... aneh lah...
Singkat cerita, kami sampai di Pantai Timur 1, pantai yang nggak terlalu ramai, namun, di situ lah pertama kalinya gue melihat garis pantai, di sebuah dermaga yang sepi...
Ya, gue sampai nggak bisa berkata-kata, lihat kan foto gue? tanpa ekspresi... Ya, gue seneng banget... Selanjutnya, setelah nyari tempat untuk gelar tikar, kami makan siang dulu sebelum main, di situ ada restoran cepat saji, McD, di sebuah tempat yang sederhana, dan gue makan dengan lahap di situ...
And finally... I touch the sea! :D
Inilah kisah penantian gue yang terbayar setelah 18 tahun. Bukan saudara, orang tua, atau teman lama yang sudah membawa hadiah terbaik yang sudah gue nanti selama 18 tahun, melainkan hanya sekelompok mahasiswa yang baru gue kenal kurang dari setahun, tetapi rasanya sudah mengenal mereka sejak aku lahir. :)
Adalah gue, Michael Ayub Garuntolo, seorang mahasiswa berusia 18 tahun, yang seumur hidupnya hanya berputar-putar di pedalaman daratan tanah Jawa tanpa pernah melihat garis pantainya. Sebuah kenyataan pahit buat gue yang selalu mendapatkan halangan saat mempunyai niat melihat tanah berpasir yang jadi pembatas daratan dengan samudera raya itu.
Suatu hari di tahun 1997, Bokap dan Nyokap mengajak gue berlibur ke Jogja. Bis kami melewati jalur pantai utara Jawa di suatu malam yang gelap gulita. Sekitar pukul 22.00, Bokap ngebangunin gue, dia menunjuk ke jendela, tampak api berkobar-kobar di tengah daerah sekelilingnya yang gelap total, saat itu gue bener-bener ngantuk dan nggak tau dari mana asal kobaran api itu.
"Itu tambang minyak," bisik Bokap. Apa itu tambang minyak? Yang ada di pikiran gue saat itu adalah; tambang minyak adalah tempat para pedagang warung membeli minyak di pabriknya untuk kemudian dijual lagi -_-
Yaa, nggak salah juga sih ya, minyak tanah yang dijual di warung kan juga asalnya dari tambang minyak. :p
Bodohnya gue, belakangan gue baru sadar, saat itu gue sedang melihat laut di kegelapan yang sempurna. Obor itu adalah kobaran api di pertambangan gas lepas pantai. Andai saja saat itu siang hari, itu berarti gue sudah melihat pantai sejak usia empat tahun.. hiks...
Dan pada akhirnya, gue kembali ke Jogja tahun 2000. Saat itu, gue bersama keluarga Ibu gue, kali ini tanpa Bokap, hampir saja mengunjungi Pantai Parangtritis di Jogja. Sial lagi-lagi, tante gue menolak ke Parangtritis mengingat saat itu sepupu gue masih kecil-kecil, dan dipandang berbahaya untuk mengunjungi pantai yang sarat muatan kepercayaan mistis tersebut...
Pada akhirnya, tahun 2008, gue kembali lagi ke Jogja. Kali ini tanpa Bokap atau Nyokap, gue hanya bersama saudara-saudara dari keluarga Ibu gue. Hampir saja kami mengunjungi Pantai Samas di Bantul, dekat rumah Om di Bantul, dan dafuq sekali, saat itu beredar kabar, pantai dipasangi police line karena katanya ada orang habis tenggelam.. Pantai ditutup! :(
Di 2010, saat angkatan di SMA gue mengadakan "studi banding" bohong-bohongan ke Bali, gue nggak jadi ikut karena Nyokap gue baru aja meninggal, dan gue pikir terlalu kurang ajar kalo baru aja ditinggal nyokap gue langsung hura-hura.. batal lagi...
Mimpi gue untuk melihat laut selalu punya halangan. Setiap liburan tiba, seakan-akan semua orang mencegah gue melihat laut. Seakan-akan semesta sepakat untuk tidak memperlihatkan laut kepada gue...
Sampai akhirnya di 2011 muncul beberapa wacana yang mendiskusikan untuk menunjukkan laut kepada gue. Ada beberapa gerombolan mahasiswa yang merencanakan liburan ke pantai. Gue pun mulai gencar menghidupkan lagi wacana yang sempat terbenam oleh kesibukan kuliah ini. Beberapa ketua angkatan di berbagai perkumpulan mulai gue bujuk untuk ngadain acara angkatan ke pantai. Di jurusan gagal, mereka ngadain PKMJ ke Puncak, males ikut, bosen puncak mulu...
Di KMK berhasil, mereka mau ngadain trip ke Jogja lagi, dengan Parangtritis sebagai salah satu destinasinya.
Namun, memang semesta belum mengizinkan; beberapa hari sebelum berangkat, seorang dosen tua bangka mengumumkan sesuatu yang terkutuk: "We'll have another test on Friday, don't forget to attend the class, and make sure you have cancelled your plans for Friday."
Saat mendengar pengumuman itu, rasanya gue pengen mukul tuh dosen. Cuma nggak tega juga, karena jalannya aja udah pake tongkat, umur udah 70-an... :(
Akhirnya, di sebuah hari yang bersejarah, 2 Juli 2012, di saat impian gue hampir gue kubur hidup-hidup, muncullah teman-teman sekelas gue yang membawa segenggam cahaya dari pesisir utara Jawa. Teman-teman sekelas gue... Ya, mereka, orang-orang yang belum genap setahun gue kenal, merencanakan suatu liburan yang tak terlupakan ke Pantai Ancol.
Bukan sebuah pantai yang indah, dan dilukiskan orang sebagai pantai yang jorok dan menjijikan. Tapi gue nggak punya pilihan lain, gue sambut tawaran ini dengan penuh rasa terima kasih.
Kami berkonvoi sekitar jam 11 siang dari kampus UNJ di Rawamangun. Sekitar tengah hari kami sampai di gerbang Ancol. Memasuki Taman Impian jaya Ancol, tercium bau yang asing... Bau pantai! Ya! amis amis gimanaa gitu... aneh lah...
Singkat cerita, kami sampai di Pantai Timur 1, pantai yang nggak terlalu ramai, namun, di situ lah pertama kalinya gue melihat garis pantai, di sebuah dermaga yang sepi...
Vedo Il Mare! Aku melihat laut! Ini adalah foto pertama yang diambil beberapa detik setelah mata gue melihat birunya lautan yang belum pernah gue lihat 18 tahun sebelumnya |
Ya, gue sampai nggak bisa berkata-kata, lihat kan foto gue? tanpa ekspresi... Ya, gue seneng banget... Selanjutnya, setelah nyari tempat untuk gelar tikar, kami makan siang dulu sebelum main, di situ ada restoran cepat saji, McD, di sebuah tempat yang sederhana, dan gue makan dengan lahap di situ...
Makan dulu biar setroong |
Gue bersyukur dapet spot pantai yang bagus. Meskipun curam sehingga nggak boleh berenang, tapi lumayan bersih, sehingga bayangan gue tentang Ancol yang penuh bangkai nggak jadi kenyataan :)
Akhirnya setelah melihat pantai, kita bermain bola dengan segerombolan keluarga Tionghoa yang juga sedang berlibur. Mereka masih fasih berbahasa Hokkian sehingga agak bingung juga kalo mereka lagi ngomong sama sesamanya -_-
Di sore hari, akhirnya kita main ke dermaga. Sayang belum sempat liat sunset, tapi tak apalah, daripada kejebak macet...
Boyband |
Grazie! |
Inilah kisah penantian gue yang terbayar setelah 18 tahun. Bukan saudara, orang tua, atau teman lama yang sudah membawa hadiah terbaik yang sudah gue nanti selama 18 tahun, melainkan hanya sekelompok mahasiswa yang baru gue kenal kurang dari setahun, tetapi rasanya sudah mengenal mereka sejak aku lahir. :)
Comments
Post a Comment