Candu Kesendirian



Suatu malam saat hujan deras turun di Depok. Warga sejenak meninggalkan aktivitasnya di jalanan. Mereka berteduh, sekadar melepas lelah setelah seharian bekerja. Sebagian lagi larut dalam kehangatan warung-warung kopi yang setia mengepulkan asap wangi yang menyapa hidung dengan akrabnya. Sebagian lagi terus melaju pulang seperti sudah seribu tahun belum melihat rumahnya sendiri.

Inilah saat yang gue tunggu-tunggu, menyapa rintik hujan yang mesra berjatuhan dari atap dunia. Bermodal sebuah jaket dan tas kecil, gue keluar dari rumah sambil menghirup wangi hujan. Menyusuri jalanan kampung yang gelap dan licin sampai bermuara di jalan raya yang nggak seberapa ramai.

"Terminal, Bang?"
"Ya, terminal."

Tujuan gue malam ini tidak lain adalah Stasiun Depok Baru. Stasiun terbesar dengan penghasilan tertinggi yang ada di kota ini. Sayang, jalan akses ke stasiun itu masih dikepung para pedagang pakaian liar yang bangun lapak di luar lahan yang udah dipagari PT KAI. Suasananya kurang lebih mirip pasar Diagon Alley di film Harry Potter.

Singkat, selesai sudah gue menerobos lapak-lapak pakaian itu, terhamparlah lapangan luas di depan stasiun. Orang-orang berlari-lari di lapangan  yang basah habis diguyut hujan itu, mengejar kereta yang menurut si announcer stasiun sudah berjarak satu stasiun saja dari stasiun ini. Setelah tap tiket masuk, terlihatlah kalau stasiun ini dulunya dirancang dengan sangat baik. Kaca-kaca besar memungkinkan matahari masuk sehingga stasiun nggak perlu menghabiskan listrik terlalu banyak untuk penerangan di siang hari. Terowongan bawah tanah membuat para penumpang kereta bisa menyeberang dari peron ke peron dengan aman. Kantor pengawas yang melintang di atas jalur KA memungkinkan para pengawas untuk memastikan stasiun aman dilintasi oleh kereta-kereta yang melintas di jam sibuk. Hanya saja, masa-masa kelam perkeretaapian negeri ini satu dekade terakhir membuat stasiun ini kehilangan kemegahannya. Malam ini, stasiun itu berbenah. Tukang-tukang wara-wiri membawa kaleng-kaleng cat dinding untuk memoles stasiun itu supaya tampak lagi masa jayanya. Toilet stasiun dibenahi sehingga membuat siapa saja yang lewat di depannya tertarik untuk sekadar buang air kecil bahkan hanya untuk membasuh wajah.

Kereta yang gue tunggu akhirnya sampai. Pintu otomatis membuka, nggak seberapa banyak penumpang yang turun. Setelah berdiri di dalam kereta tak lebih dari 10 menit, gue dapat tempat duduk kosong. Malam itu kereta listrik Commuterline tujuan Jakarta Kota cukup sepi. Cukup banyak bangku yang kosong. Hujan masih turun di luar, dinginnya masih terasa, begitulah dinginnya, dingin kesendirian. Kesendirian yang menurut orang-orang menyiksa, tapi buat gue punya sensasi tersendiri. Dingin yang membuat gue ngerti, betapa dingin itu adalah impian milik orang-orang yang kepanasan. Dingin yang selalu mengingatkan gue bahwa dalam dingin yang nggak diinginkan banyak orang. Dingin yang membuat orang takut kalau-kalau mereka nggak bisa melihat matahari lagi. Dingin yang membuat orang-orang kota tertidur lelap dalam rumah-rumah mereka setelah seharian jiwa dan raganya diperas untuk kepentingan pemilik modal. Dingin yang menegaskan kalau kesendirian adalah sesuatu yang sepatutnya disyukuri, bahkan dinikmati, kalau perlu.

Depok-Jakarta-Bekasi, 8 Juli 2014


Comments

Popular Posts